Jejak-Jejak Mangkunegaran

Pura Mangkunegaran
(dok. Andini Harsono)


Berkunjung ke kota Surakarta atau Solo, Jawa Tengah, tak lengkap rasanya apabila tidak sowan ke Pura Mangkunegaran. Terletak tidak jauh dari kota hanya sekitar 1,5 KM, Pura Mangkunegaran menyambut saya dengan kesejukannya. Karena sedang dilakukan renovasi di area loket, maka pembelian tiket masuk dipindahkan setelah melewati pagar tinggi dan terletak di teras bagian kanan dari pintu masuk. Harga tiket masuk Rp. 30.000,- dan Anda langsung mendapatkan tour guide yang akan mendampingi Anda menelurusi jejak-jejak sejarah Raja Mangkunegara. Adalah Bapak Budi Pujiastono yang menjadi guide saya mulai menggiring masuk ke area Pendopo.

Pura Mangkunegaran terdiri dari 3 bangunan utama yaitu Pendopo Ageng (Joglo Pasoko Guru), Paringgitan (Kuthuk Ngambang), dan Ndalem Ageng (Limasan). Pertama, pengunjung akan dipersilakan masuk ke area Pendopo Ageng. Saya terpukau dengan kemegahan desain Pendopo Ageng yang sarat akan seni dan makna. Di sana terdapat 2 (dua) kelompok gamelan yang terpisah. Gamelan-gamelan tersebut digunakan ketika ada seni pertunjukan di Pura Mangkunegaran dengan penari-penari istana. Seperti yang diketahui, seni tari merupakan hasil karya budaya serta alat komunikasi yang hingga saat ini tetap menjadi barang pusaka peninggalan para leluhur. Pada saat saya berkunjung, sedang dilaksanakan pelatihan tarian oleh penari-penari Mangkunegaran. Semakin ke tengah Pendopo Ageng, mata saya tertuju pada langit-langit Pendopo Ageng yang megah. Terdapat 8 (delapan) kotak berbentuk batik dengan warna berbeda mengundang rasa penasaran saya. Seakan menangkap mata kekaguman serta keherannya saya, Pak Budi langsung menjelaskan makna dari 8 (delapan) batik berbeda warna tersebut.

Batik Kumudowati
(dok. Andini Harsono)

Batik Kumudowati adalah nama dari lukisan tersebut. Adapun 8 (delapan) warna berbeda bukan tanpa makna. Kuning bermakna mencegah rasa kantuk, biru mencegah datangnya musibah, hitam mencegah rasa lapar, hijau mencegah frustasi atau stress, putih mencegah pikiran kotor atau negatif, orange mencegah ketakutan, merah mencegah kejahatan dan ungu mencegah pikiran jahat. Pada bagian poros batik, menggantung lampu desain eropa menambah elegannya bangunan ini. Sungguh indah.

Tiket Masuk Pura Mangkunegaran
(dok. Andini Harsono)

Berikutnya masuk ke Paringgitan. Bangunan ini katanya berbentuk Kuthuk Ngambang atau Ikan Gabus yang sedang mengambang di air. Paringgitan biasanya digunakan untuk pagelaran wayang sesuai dengan namanya ringgit. Di sana terdapat foto Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara IX beserta GKP Mangkunegara. Ada pula lukisan istri Mangkunegara VIII yang dibuat 3 (tiga) dimensi dimana bisa dilihat dari berbagai arah. Bangunan ini juga tidak kalah indah. Bernuansa hijau menambah kesejukan.

Kemudian saya diajak Pak Budi masuk ke area pribadi yaitu Ndalem Ageng. Bangunan berbentuk limasan ditopang oleh 8 (delapan) soko guru  atau tiang utama ini adalah tempat penyimpanan benda-benda peninggalan Mangkunegara I-VIII. Mulai dari perhiasan, senjata (pedang, keris, senapan), peralatan makan, dan hiasan rumah pada waktu itu. Parfum permaisuri dan putrinya juga masih tersimpan rapi di dalamnya. Benda-benda tersebut ada juga pemberian dari Raja negara-negara lain. Lukisan dan foto Mangkunegara II-IX beserta istrinya rapi berjajar menghiasi tembok ruangan. Sedangkan Mangkunegara I digambarkan dengan simbol Surya Sumirat yang berarti Matahari yang Menyinari. Oya, di ruangan ini dilarang mengambil foto ataupun video ya karena bersifat private.

Ruangan ini membuat saya berdecak kagum. Bagaimana tidak? Saya bisa melihat dengan cermat bagaimana keluarga Mangkunegara jaman dulu menggunakan perhiasannya mulai dari kecil sampai besar. Bahkan untuk menjaga kesucian dan kesetiaan terhadap pasangan, mereka harus menggunakan Badong yang dipasang pada alat kelamin mereka. Badong hanya bisa dibuka oleh pasangannya yang sah dengan mantra. Meskipun telah sah menjadi suami istri, mereka tidak tinggal satu kamar. Mereka tidur terpisah. Selain itu, permaisuri berhak memegang kunci pintu seluruh kerajaan. Tak kalah menarik perhatian saya adalah stempel kaki. Stempel yang biasa berbentuk bulat ada pegangan untuk dipegang tangan, stempel ini menyerupai cincin dan ketika hendak digunakan, dilingkarkan ke jempol kaki lalu ditekan pada kertas seperti biasa. Hal ini bermakna bahwa penjajah pada waktu itu tidak lebih tinggi dari bangsa Indonesia.

Keluar dari Ndalem Ageng, pengunjung bisa mengambil foto kembali dan menggunakan alas kaki. Karena begitu masuk Pendopo Ageng, pengunjung dipersilakan untuk melepas alas kaki dan menyimpannya pada kantong yang sudah disediakan oleh guide. Tempat selanjutnya adalah Kaputren. Putra dan putri ditempatkan terpisah dari dulu sampai sekarang. Kaputren adalah tempat tinggal para putri sedang kaputran adalah tempat tinggal para putra raja. Saat ini, kamar-kamar yang ada di kaputren sudah jarang digunakan kecuali apabila sedang ada acara keluarga. Di antara kaputren dan kaputran, menghampar hijau pepohonan dan taman asri. Ada pula lingga dan yoni yang melambangkan Dewa Siwa dan Dewi Parwati.

Di area itu juga terdapat ruang rapat yang digunakan ketika hendak ada hajatan pernikahan atau acara keluarga lainnya. Di belakang ruang rapat ini ada ruang makan khusus keluarga. Di jendelanya terdapat lukisan-lukisan timbul yang menceritakan prosesi pernikahan adat Jawa. Lukisan-lukisan tersebut dibuat pada tahun 1941 dan masih sangat menawan. Area kaputren, kaputran, ruang rapat, ruang makan, dan lorong untuk menuju pintu keluar, dihiasi dengan foto-foto keluarga Mangkunegara dari dulu hingga sekarang. Salah satunya foto GPH Paundrakarna, aktor dan seniman putra dari KGPAA Mangkunegara IX dan Ibu Sukmawati Soekarnoputri ini kini tinggal di Ndalem Mangkunegaran. Namun, sayangnya saya belum beruntung bertemu beliau.

Seiring melangkah keluar 3 (tiga) bangunan utama Pura Mangkunegaran, saya diajak melihat kereta-kereta kerajaan tersimpan rapi di ruangan khusus penyimpanan kereta yang terletak tidak jauh dari tempat pembelian tiket. Tempat kereta tersebut menjadi lokasi terakhir area yang boleh dikunjungi. Pura Mangkunegaran dibangun pada tahun 1757 – 1866 dengan luas kurang lebih 10 hektar.

Dengan mengunjungi tempat-tempat bersejarah seperti Pura Mangkunegaran ini, menambah kekayaan pengetahuan saya tentang sejarah Indonesia khususnya tanah Jawa. Sebagai seorang keturunan Jawa, saya terasa haus akan informasi sejarah yang melahirkan kebudayaan dan kesenian penuh makna. Bukan saja keindahan alam dimiliki Indonesia, tetapi keindahan budaya dan keseniannya menjadi daya tarik tersendiri di hati pelancong seperti saya. Pesona Pura Mangkunegaran merupakan salah satu pesona Jawa Tengah yang bisa dijadikan penawar penat kepadatan aktifitas harian. Tentunya masih banyak tempat-tempat lain tidak kalah menarik. Dan langkah kaki ini akan terus berjalan menyusuri jejak-jejak budaya Indonesia. 

Tidak ada komentar