Setelah beberapa bulan lalu mainjalan ke Mojokerto mengunjungi situs-situs Trowulan untuk mengenang kembali kejayaan Kerajaan Majapahit, kali ini saya diberi kesempatan untuk melanjutkan perjalanan ke Bumi Sriwijaya (Palembang) dan ini menjadi kali pertama saya ke kota Palembang. Meskipun saya tidak banyak mengunjungi situs sejarahnya, melalui Sungai Musi saya sudah dapat merasakan bahwa Kerajaan Sriwijaya amat sukses dalam perdagangan dan berpengaruh di Nusantara dan juga beberapa Negara di sekitarnya. Saya pernah temui cerita sejarah tentang Sriwijaya ketika mainjalan di Melaka dan Museum Negara Kuala Lumpur, Malaysia. Mengesankan.
Awalnya
saya dan Mak Tati (teman MainJalan saya kali ini) ingin menempuh jalur darat,
dan laut menuju Palembang dari Jakarta. Namun karena satu dan lainnya, akhirnya
kami memutuskan untuk naik pesawat menuju Palembang. Niat untuk mencoba jalur
darat dan laut akan dilaksanakan pulang dari Palembang menuju Jakarta dengan
transit di Lampung. Hmm kebayang kan betapa panjangnya perjalanan ini hehe.
Sejak pandemi
saya baru pertama kali melakukan perjalanan menggunakan kapal terbang. Setelah
membaca semua syarat penerbangan masa pandemi ini dimana sudah tidak ada
kewajiban test swab antigen atau PCR, akhirnya kami berdua berangkat dengan
riang gembira meskipun dalam hati saya ada rasa khawatir karena tidak ada test
swab itu. Tapi saya terus berdoa dan positive thinking semua akan baik-baik
saja. Kami mengambil waktu penerbangan menjelang siang, dan kondisi bandara
sudah cukup padat, bahkan maskapai yang kami tumpangi juga hampir full seat.
Sampai di
Palembang, kami naik LRT dari bandara menuju penginapan. Harga tiketnya
Rp. 10.000,-, keretanya cukup nyaman, AC dingin dan bisa melihat pemandangan
kota Palembang. Cuaca hari itu cukup panas tapi tak membuat kami berpeluh-peluh
hehe.
Mie Celor, Pempek, Sungai Musi (Jembatan Ampera) dan Bangunan di Sekitarnya
Ke
Palembang kurang lengkap tanpa kulineran. Mie Celor menjadi tujuan pertama
kami. Porsinya yang banyak mampu memberi tenaga untuk kemudian melanjutkan
perjalanan dengan jalan kaki menyusuri kota ke Sungai Musi Jembatan
Ampera. Kami melewati pasar yang kanan kiri jalannya dipenuhi dengan kuliner
pempek, tekwan dan kerupuk. Sebagian rumah-rumahnya masih bergaya rumah lama,
aah suka saya melihatnya hehe.
Kemudian
kami menemukan bangunan lama yang di salah satu temboknya bertuliskan JBSON VAN
DEN BERG 8. Setelah googling saya menemukan sedikit informasi terkait bangunan
ini. Jacobson Van Den Berg, NV Jacobson salah satu perusahaan besar dari
Belanda pada masanya, kalau dihitung usia perusahaannya sudah mencapai 200
tahunan sejak 1860. Kalau dilihat dari bentuk bangunannya, gedung ini seperti gudang dengan banyak ruang luas di dalamnya mungkin perusahaan ekspedisi atau pedagangan pada masanya. Semoga kedepannya
pemerintah Kota Palembang bisa menjadikan gedung ini salah satu destinasi
wisata karena struktur bangunannya yang cantik serta cerita sejarahnya yang
pastinya menarik.
Tidak jauh dari gedung Jacobson terdapat satu bangunan yang konon pada masanya adalah hotel mewah. Lagi-lagi bangunan ini dibiarkan kosong begitu saja. Terlihat dari struktur bangunannya yang kuat dengan gaya khas kolonial yang mungkin digunakan para bangsawan.
Terus berjalan
hingga bertemu Benteng Kuto Besak, sayangnya kami tidak sempat masuk. Entah
masih boleh masuk benteng ini atau tidak? Benteng ini dibangun di bagian tenggara
Sungai Musi dan menjadi satu-satunya benteng yang tercatat dibangun oleh kaum
pribumi pada masa Kesultanan Palembang Darussalam, Sultan Mahmud Badaruddin I
tahun 1724 – 1758, namun sayangnya pembangunannya belum selesai hingga beliau
mangkat. Benteng Kuto Besak ini juga terdapat Keraton Kuto Besak pada masa
Sultan Mahmud Bahauddin. Kuto Besak juga disebut sebagai keraton baru oleh Belanda.
Saya sungguh penasaran kemegahan di dalam benteng ini.
Karena
tidak masuk ke dalam BKB alias Benteng Kuto Besak, kami duduk-duduk saja sambil
menangkap gambar dan video di tepian Sungai Musi. Bisa terbayangkan betapa
ramainya Sungai Musi pada waktu itu hilir mudik kapal-kapal dengan layar
terkembang membawa beragam barang perdagangan dalam dan luar negeri. Bumi Sriwijaya
juga dikenal sebagai pusat pembelajaran yang situsnya bisa kita temui di Muaro
Jambi. Selain itu, Palembang juga dikenal sebagai pusat sastra di era Kesultanan
Palembang.
Tidak jauh
dari BKB terdapat Museum Sultan Badaruddin II yang lagi-lagi kami tidak sempat
mengunjunginya hiks. Dari kejauhan saja bangunan ini sudah megah dan berciri khas.
Selain itu, kita bisa temukan Monumen Perjuangan Rakyat Sumatera Bagian Selatan
dan Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo. Bangunan masjidnya berciri khas Melayu dan dibangun pada abad ke-18 yang merupakan peninggalan
Kesultanan Palembang.
Perjalanan sore
hingga malam di Palembang menjadi lebih menyenangkan karena ditemani oleh teman-teman
blogger Palembang (terima kasih yaa) dan sinar bulan purnama yang cantik menghiasi langit malam Palembang.
Kami bercengkrama sambil menikmati pempek di seberang Masjid Agung hingga
menjelang larut.
Museum Balaputera Dewa dan Bayt Al-Qur’an Palembang
Teman-teman
ingat uang kertas pecahan Rp. 10.000,- yang dibaliknya ada Rumah Limas? Nah, kami
menemukannya di Museum Balaputera Dewa. Rumah Limas lengkap dengan interior di
dalamnya yang menakjubkan ini serasa membawa saya ke sekian puluh bahkan ratus tahun
yang lalu ketika berada di dalam rumah ini. Pengunjung bisa menjumpai ruang
demi ruang, kamar-kamar, singgasana, hingga perabotan bercirikan Melayu.
Selain Rumah
Limas, Museum Balaputera Dewa juga menyimpan koleksi senjata, keramik, tekstil
dan beberapa arca peninggalan leluhur. Ada rombongan siswa yang sedang study
tour ke museum ini bebarengan dengan kami. Senang melihat antusias mereka
mengenal sejarah dan budaya bangsa ini.
Setelah
puas berkeliling museum, kami bergegas menuju Bayt Al-Qur’an Palembang atau
lebih dikenal dengan Museum Al-Qur’an raksasa. Perjalanan cukup jauh dari Museum
Balaputera Dewa namun sesampainya di sana, rasa lelah hilang berganti rasa kagum
dengan hasil karya huruf-huruf Al-Qur’an diukir sangat indah yang memenuhi
seluruh bagian museum.
Terletak satu kawasan dengan pesantren, Bayt Al-Qur’an Palembang menjadi simbol bahwa penyebaran agama Islam kuat di wilayah Sumatera khususnya Palembang dari masa ke masa. Menyejukkan.
Perjalanan 2 hari di Palembang terasa begitu cepat dan saya masih menyisakan beberapa tempat menarik untuk dikunjungi seperti Taman Situs Purbakala Sriwijaya dan Kampung Palembang. Bahkan saya ingin mencoba jalan kaki menyusuri Jembatan Ampera di sore hari hehe. Semoga ada rezeki dan kesempatan lagi untuk bisa berkunjung ke Bumi Sriwijaya yang menawan ini.
Tidak ada komentar