Jakarta
Utara menjadi tempat yang jarang sekali saya kunjungi sejak belasan tahun saya
hidup di Ibukota. Keinginan menelusuri tempat sejarah yang ada di Jakarta
membawa saya ke Marunda, Jakarta Utara. Ada apa aja di sana?
Dengan
menggunakan KRL Jabodetabek kami berangkat memulai perjalanan dari Stasiun Manggarai.
Kali ini saya ditemani oleh Mba Lita dan Kak Rizki yang jauh-jauh datang dari
Bekasi dan Bogor. Kereta dari Manggarai menuju ke Jatinegara, berganti jalur ke
Kampung Bandan dan berganti kereta menuju ke Tanjung Priok. Nah, jalur
pulangnya kami mengambil rute Tanjung Priok - Jakarta Kota jadi lebih cepat. Seakan
masuk ke daerah mana karena suasananya sungguh berbeda. Daerah utara memang
dikenal dengan kemacetan truk-truk kontainer (ekspedisi) untuk mengiriman
barang ke dermaga pelabuhan Tanjung Priok. Jadi siap-siap aja bersampingan
dengan truk-truk besar selama perjalanan.
Sesampainya
di stasiun Tanjung Priok kami menuju ke Rumah Si Pitung dengan menggunakan
transjakarta dari terminal Tanjung Priok. Letaknya berseberangan dengan stasiun
jadi tinggal menyeberang aja. Hati-hati ya waktu menyeberang karena ramainya
kendaraan bermotor tanpa jeda. Nah, sebelum keluar stasiun saya sempat
mengabadikan bangunan stasiun yang juga tidak kalah cantik untuk dinikmati.
Stasiun Tanjung Priok juga melayani KA barang angkutan peti kemas. Stasiun
Tanjung Priok dibangun sebanyak 2 kali yaitu generasi pertama pada tahun 1885
dan generasi kedua pada tahun 1925 saat operasional pertama kereta rel listrik
di Batavia. Bangunan gaya kolonial ini masih berdiri kokoh hingga saat ini.
Tanjung Priok menjadi kebanggaan masa Hindia Belanda karena menjadi pintu
gerbang masuk ke Batavia sehingga adanya pelabuhan dan stasiun menjadi sarana
mobilisasi pada masa itu.
Rumah Si
Pitung
Dari
Stasiun Tanjung Priok kami bergerak menuju Rumah Si Pitung. Seperti yang saya
ceritakan tadi kalau perjalanan ini akan bersampingan dengan truk-truk kontainer
dan cukup membuat jantung saya deg-dengan apalagi ketika harus naik ojek saat
menuju ke lokasi selanjutnya. Huft tapi bukan menjadi soal namanya juga
perjalanan ya kan.
Rumah Si
Pitung salah satu rumah panggung Betawi yang tersisa hanya tinggal hitungan
jari. Rumah panggung ini merupakan representasi rumah-rumah masyarakat Betawi
yang tinggal di wilayah pesisir. Rumah Si Pitung ini merupakan rumah milik Haji
Saipudin sahabat dekat Pitung yang menjadi persinggahan Pitung ketika
bersembunyi atas tuduhan merampok pada masa Belanda diperkirakan tahun 1890-an.
Kini bangunan tersebut menjadi Museum Kebaharian Jakarta Rumah Pitung dan masuk
dalam cagar budaya yang mengalami beberapa kali renovasi. Untuk mempertahankan
keutuhan bangunan, maka lantai-lantainya yang tadinya terbuat dari bilah bambu
diganti dengan kayu.
Pengunjung
bisa masuk ke rumahnya yang terdiri dari teras, ruang tamu, kamar tidur, ruang
makan dan dapur yang mengarah ke teras belakang. Masih bisa ditemui juga
beberapa benda peninggalannya seperti rebana dan perabotan rumah. Pada bangunan
sisi rumah utama, pengunjung juga bisa menikmati semilir angin dari pantai
Marunda berhiaskan kapal-kapal besar pengangkut peti kemas.
Masjid Al-Alam Marunda
Berjarak sekitar 600 meter dari Rumah
Si Pitung berdiri salah satu masjid tertua dan bersejarah di Pulau Jawa. Ada 2
versi cerita sejarahnya. Pertama, masjid ini didirikan pada masa Pangeran
Fatahillah beserta pasukannya menyerang Portugis di Batavia pada tahun 1527.
Pasukan ini melewati Sungai Cilincing dan mendirikan masjid ini sebagai tempat
ibadah. Ada 2 bangunan yang didirikan masjid dan surau. Masjidnya sekarang bernama
Masjid Al-Alam Marunda sementara suraunya bernama Masjid Al-Alam Cilincing. Versi
kedua adalah pasukan Kerajaan Mataram yang dipimpin oleh Bahurekso hendak
menyerbu VOC mendirikan bangunan ini sebagai markas penyusunan taktik dan juga
tempat ibadah.
Namun jika dilihat dari struktur
bangunannya, terlihat seperti masjid-masjid di pesisir utara Jawa Tengah (Demak
dan Kudus). Jadi seakan-akan saya sedang berada di sana. Karena lokasinya berdekatan
dengan Rumah Si Pitung maka masjid ini juga dikenal dengan Masjid Al-Alam Si Pitung.
Tahun 1975 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menetapkan masjid ini sebagai
Bangunan Cagar Budaya.
Gereja Kampung Tugu
Perjalanan dilanjutkan ke Kampung
Tugu yang merupakan tempat bermukimnya keturunan Portugis. Iya, kami bisa melihat
wajah-wajah Portugis di sini. Cantik dan menawan. Di Kampung Tugu terdapat
gereja bernama Gereja Tugu. Pada saat kami datang, jemaat di sini sedang
persiapan Natal.
Gereja ini diperkirakan dibangun
sekitar tahun 1676 bersamaan dengan berdirinya sekolah rakyat pertama di
Indonesia. Gereja ini sempat hancur pada tahun 1740 karena terjadi peristiwa
Pemberontakan Tionghoa. Gereja Tugu kembali dibangun dan diresmikan tahun 1748.
Meskipun dilakukan beberapa kali
renovasi namun atap gereja masih dipertahankan keasliannya, seperti engsel
pintu dan jendela-jendela. Tradisi bangsa Portugis masih dilestarikan hingga kini
seperti pada perayaan Natal dan Tahun Baru, Kampung Tugu punya tradisi pesta
panen, mandi-mandi atau tradisi rabo-rabo yang disajikan dengan iringan musik keroncong
yang akarnya berasal dari musik Portugis yang dikenal sebagai fado. Hingga akhirnya
ada istilah Keroncong Tugu yakni musik keroncong hasil kreativitas penduduk
Kampung Tugu.
Perjalanan yang mengesankan menelusuri
jejak-jejak sejarah yang ada di Jakarta. Setelah ini saya penasaran ingin
blusukan lebih banyak lagi tempat-tempat sejarah yang masih bisa kita lihat di
Jakarta. Wisata sejarah dan religi yang masih tersimpan di Jakarta Utara
menarik untuk dipelajari. Dengan MainJalan ke tempat-tempat bersejarah semakin mendekat
rasa cinta kita kepada bangsa dan tanah air. Selain itu, kita bisa banyak
belajar dari memori yang tersimpan pada masa itu. Nah, jadi kapan kita
MainJalan bareng telusur sejarah (lagi) di Jakarta Utara? Yuk :)
--
Referensi : wikipedia, jakarta-toursm, kebudayaan.kemendikbud dan catatan-catatan pengalaman yang ditemui saat perjalanan
Tidak ada komentar