Akhirnya kesampaian juga menjelajah Pulau Kalimantan untuk pertama kalinya, yeay. Perjalanan ini terasa spesial karena bukan cuma sekadar liburan, tapi road trip seru menyusuri tiga kota sekaligus di Kalimantan Barat yaitu Pontianak, Singkawang, dan Kabupaten Sanggau. Tentunya saya tidak sendirian. ditemani oleh saudara saya yang telah 4 tahun tinggal di Kabupaten Sanggau, Anjar dan kawannya (kita panggil saja Aa) untuk menyusuri tiga kota yang sama sekali tidak terbayangkan oleh saya sebelumnya. Dengan rute perjalanan darat penuh kejutan, banyak hal seru yang saya temui mulai dari kuliner khas, suasana tiap kota berbeda, pemandangan alam, keramahan penduduknya dan yang paling menarik menurutku keragaman budaya Indonesia yang luar biasa.
Saya memilih mengunjungi daerah baru di Indonesia untuk mengawali perjalanan MainJalan tahun 2025 ini. Tiap kali saya baca Kalimantan selalu terbayang hutan lebat ternyata sangat menarik kehidupan di sana. Saya memulai perjalanan di Pulau Kalimantan dari Kalimantan Barat. Tujuan utamanya menghadiri perayaan Festival Cap Go Meh yang sudah menjadi event Internasional tahunan di Singkawang. Karena event besar tentu banyak tantangannya. Salah satunya lonjakan harga akomodasi. Meski sudah memesan jauh-jauh hari tetap saja kami dapat harga penginapan 2x lipat dari hari biasa. Ok mari kita mulai cerita MainJalan ke tiga kota di Kalimantan Barat dengan Festival Cap Go Meh di Singkawang.
Hari 1 – Pontianak ke Singkawang, Seakan Traveling ke Beda Negara
Mendarat di Supadio International Airport Pontianak sekitar pukul 1 siang langsung dijemput Anjar dan Aa. Tentu saja matahari di sana terasa begitu dekat. Kota yang dilintasi garis khatulistiwa ini memiliki makanan khas soto dan minuman lidah buaya sebagai penyegar yang pas karena cuaca panas. Namun, saya tidak diajak makan soto dan minum lidah buaya. Anjar dan Aa membawa saya untuk makan bebek goreng di daerah Siantan sekalian perjalanan menuju Singkawang. Iya, hari pertama kami tidak menginap di Pontianak karena memilih tinggal lebih lama di kota Singkawang.
Setelah puas “isi bensin” perjalanan dilanjutkan dengan cukup menantang karena kondisi jalanan cukup tidak rata serta pengendara yang luar biasa. Senja menjelang, saya diajak nyore sembari istirahat sebentar di Aming Coffee Mempawah dengan pemandangan sungai dan kebun Sawit ditambah lagi Bulan mulai menunjukkan sinarnya. Sebuah momen mengesankan yang tak terlupa.
Sambil menyeruput Kopi Susu Aming yang memiliki rasa khas, Anjar berkata, “Mba lu siap-siap ketemu Tatung besok yaa. Gue juga belum pernah sih ketemu Tatung, pengen banget.” Saya bengong. “Tatung?”
Setelah browsing dan dijelaskan sekilas oleh Anjar dan Aa, “OMG” dalam hati. Ok baik. Biasanya sebelum MainJalan saya riset dulu apa-apa saja yang kemungkinan akan saya temui di lokasi tujuan, tapi pada perjalanan kali ini saya benar-benar blind dan mungkin karena merasa memiliki local guide (Anjar dan Aa), jadi saya biarkan mendapat kejutan-kejutan. Benar saja.
Sampai di Singkawang tengah malam karena kondisi jalanan macet setelah Perayaan Festival Lampion keliling kota membuat kami harus berjalan untuk mencapai hotel karena mobil belum bisa lewat. Hotelnya berada di tengah pemukiman warga dan diapit oleh klenteng. Saya nikmati tiap langkah menyusuri tempat tinggal warga. Berasa jadi warlok dan mendapat kejutan pertama yaitu bertemu 2 klenteng saling berhadapan yang sedang mempersiapkan rangkaian upacara Cap Go Meh serta Pawai Tatung sebagai puncak perayaan Cap Go Meh di Singkawang. Seperti berada di luar Negeri (vibesnya seakan ada di China atau Vietnam). Tengah malam melewati klenteng yang sedang persiapan Cap Go Meh membuat saya seperti masuk ke dalam gelembung-gelembung udara. Menakjubkan.
Sampai di hotel, check in, memeriksa kamar dan kami kembali berjalan kaki untuk mengambil mobil. Waktu menunjukkan pukul 1 pagi. Perut kembali berdendang dan kami memutuskan menghentikan dendangannya dengan makanan cepat saji yang buka 24 jam. Mata mengantuk tak tertahan lagi. Kami bergegas masuk kamar hotel dan istirahat.
Hari 2 – Menghabiskan Waktu di Singkawang (tidur, makan, jalan kaki, dan work from coffee shop)
Perjalanan darat memang memberi banyak cerita dan pengalaman. Tapi rasa lelahnya pun berbeda, apalagi kami hanya memiliki driver tunggal. Jadi pagi itu kami memutuskan untuk istirahat dulu di hotel, makan pagi di hotel dan baru keluar sekalian makan siang. Dari balik kamar saya mendengar suara Barongsai. Saya bangunkan Anjar, “Njar Njar, pawainya udah mulai kayaknya. Itu ramai Barongsai.” Setengah sadar Anjar menjawab, “Ya udah siap-siap kita keluar.”
Kota Singkawang cukup panas tapi masih bisa kami toleransi sehingga tetap nyaman berjalan kaki. Saya terkesan dengan tata kota yang rapi dan keragaman masyarakatnya yang damai berdampingan. Kami makan siang Soto Solo. Nah kan jauh-jauh ke Singkawang yang dimakan Soto Solo hehe. Kami simpan makanan khas Singkawang untuk makan malam saja.
Sembari makan kami mencari informasi agenda festival hari itu apa saja. Rupanya suara Barongsai yang saya dengar pagi itu waktu di hotel merupakan ritual “Cuci Jalan” atau “Tolak Bala” yang dilakukan sehari sebelum pawai Tatung dalam perayaan Cap Go Meh. Ritual ini melibatkan para pengurus vihara dan klenteng yang meminta keselamatan dan keberkahan dari Dewa Toa Pek Kong. Ritual Cuci Jalan merupakan proses arak-arakan yang dilakukan oleh para Tatung, mereka berjalan melalui jalan-jalan dan mengunjungi berbagai pekong (sembahyang). Ritual ini juga bertujuan untuk mengusir roh jahat yang dipercaya dapat mengganggu kesejahteraan masyarakat.
“Pawai Tatungnya besok pagi Mba jam 8 mulainya dari depan kantor Walikota.”, kata Aa. Lalu kami mulai memetakan tempat yang nyaman untuk kami menonton Pawai Tatung. Festival International ini dihadiri oleh Wapres RI dan Menteri Pariwisata, serta Kebudayaan. Senang sekali melihat geliat pariwisata budaya di sini. Banyak turis mancanegara yang saya temui. Artinya, Singkawang memang berpotensi menjadi tujuan wisata budaya yang menjadi identitas keragaman budaya di Indonesia.
Karena kami perlu mengerjakan sesuatu maka duduk ngadem di coffee shop adalah pilihan tepat. “Mba, lu harus foto di depan CW Coffee Singkawang ya.” Anjar bukan saja sebagai guide perjalanan tetapi juga guide lokasi foto plus pengarah gaya.
Usai magrib kami melanjutkan jalan kaki menyusuri kota ditemani dengan Bulan yang semakin terang bersinar. Tiba waktu makan malam kami tidak mau melewatkan makanan khas Singkawang yaitu Bakmi Kering. Suasana Singkawang waktu itu ramai tapi tetap nyaman. Terasa sekali kemeriahan menyambut Pawai Tatung. Hampir semua rumah yang saya lewati dihiasi kerlap kerlip lampu lampion, dan bunga-bunga.
Ada beberapa Bakmi Kering halal di kota Singkawang salah satunya yang terkenal Bakmi Kering Haji Aman. Kami bertiga memesan menu sejenis tapi berbeda. Saya = Bakmi Rebus, Anjar = Bakmi Kering, dan Aa = Bakmi Goreng. Apa bedanya?
Bakmi Kering topping ayam, bakso, babat, irisan telur dan tahu dan kuah terpisah. Bakmi Rebus toppingsama dengan kuah campur dan Bakmi Goreng layaknya Bakmi Goreng biasanya. Untuk harga masih ramah di kantong. Anjar mulai bercerita tentang Singkawang sambil kami melihat ke arah kasir. “Ramai juga ya yang makan di sini Njar.”, kata saya. Lalu pandangan kami tertuju pada seorang anak laki-laki yang lucu dengan tempelan kompres di kepalanya menandakan dia sedang demam. Tetapi dia duduk tenang bermain game sambil menemani ayahnya menjaga kasir. “Lucu banget.”, kata Anjar mengakhiri prosesi makan malam kami.
“Masih jam 9 malam nih. Keliling dulu yuk.”, ucap Aa. Kami gas aja. Tanpa disangka-sangka Aa mengajak klenteng to klenteng. Berkeliling klenteng malam-malam menjelang tengah malam, Singkawang emang beda.
Perayaan Cap Go Meh memang luar biasa semaraknya. Sama seperti Idul Fitri, semua umat yang merayakannya bahagia. Kami pun ikut merasakannya. Ceritanya, Aa mengambil jalan masuk-masuk gang tidak mengikuti gmaps melewati jalan besar. Lalu kami menemukan klenteng begitu cantik. Anjar meminta berhenti dan kami masuk berkeliling. Ternyata mereka sedang makan-makan. Salah satu pengurus klenteng menyapa, “Masuk aja Kak, mari makan.”. Kami pun berfoto puas-puas sambil menemani mereka menikmati makan malam bersama. Asli, klentengnya kayak di Vietnam.
Jam 11 malam kami melanjutkan perjalanan menuju klenteng yang menjadi akhir perjalanan Naga Cap Go Meh. Namanya, Sui Kheu Thai Pak Kung Temple. Nah, ketika di sini beda lagi. Terasa seperti di Negeri Tiongkok. Megah sekali. Malam itu pintu klenteng masih terbuka dan banyak warga yang sedang beribadah di sana. Kami dipersilakan masuk mengambil gambar. Lalu ada kotak yang berisikan kalimat penyemangat (kalau kata saya hehe). Kalau waktu siang atau waktu-waktu tertentu ada yang membimbing untuk mengambil salah satu kertas pada kotak tersebut. Ada doa-doanya. Tapi karena kami tengah malam jadi kami mengambil mana-mana yang kami ingin. Apa yang dituliskan di kertas kami masing-masing? Mengejutkanlah pokoknya *senyum keliatan gigi.
Kapan lagi sowan ke klenteng tengah malam kalau bukan waktu di Singkawang? Kapan lagi bisa merasakan Indonesia dengan keragaman suku, budaya dan etnis secara bersamaan? Kota yang dikenal sebagai Kota Seribu Klenteng dan rumah terbesar bagi etnis Tionghoa di Indonesia ini mengajarkan kami toleransi. Indonesia begitu kaya budaya. Saya berada di Kalimantan tapi seperti berada di Negara lain. Menakjubkan bukan?
Cerita ini akan berlanjut yaa, tentang Pawai Tatung yang memberi saya “warna” tersendiri. See yaa..
wah, seru bgt jalan2nya. kapan2 kita jalan bareng yuk....
BalasHapusSeru banget perjalanan ke Pontianak dan Singkawang, pengen banget ngerasain Cap Go Meh di Singkawang. Mudah2an bisa terwujud, Amin2
BalasHapus