Kembali Menyapa Solo yang Selalu Memberi Kesan Rumah

 


Ada kota yang tak pernah benar-benar kita lupakan dan selalu ada keinginan untuk kembali lagi dan lagi. Kota yang diam-diam menunggu kita pulang, meski bukan kota asal atau kota tempat kita dilahirkan. Saya yakin masing-masing orang memilikinya, dan bagi saya kota itu bernama Solo.

Sudah lama saya tidak menuliskan perjalanan di blog perjalanan mainjalan.com. Rasanya seperti lupa caranya menuangkan cerita, sampai akhirnya perjalanan bulan Agustus kemarin mengingatkanku lagi bahwa menulis dan berjalan adalah dua cara untuk pulang. Iya, pulang kepada diri sendiri.

Kali ini, perjalananku ke Solo bukan perjalanan yang panjang. Hanya satu malam, dalam rangkaian road trip bersama teman baikku, Kak Miza, yang datang jauh-jauh dari Malaysia. Kami berangkat dari Jakarta menuju Jogja, lalu lanjut ke Solo, dan akan ke Semarang keesokan harinya. Tapi entah kenapa, Solo selalu meninggalkan kesan yang berbeda, meski hanya jadi tempat singgah.

Solo, Kota yang Menyambut dengan Tenang

Menggunakan Kereta Commuter dari Stasiun Tugu Yogyakarta menuju Stasiun Solo Balapan, kami tiba sekitar pukul 20.30 WIB setelah perjalanan panjang dari Gunung Kidul, Jogjakarta. Oh tentu selama di Jogja, kami sewa mobil. Nanti ceritanya menyusul ya hehe. 

Kalau tidak salah, kami naik Kereta Commuter yang hampir jadwal terakhir dari Stasiun Yogyakarta. Perjalanan ditempuh sekitar 1 jam dengan harga tiket Rp. 8.000,-. Seperti halnya KRL Commuter di Jabodetabek, Commuter Jogja – Solo bisa menggunakan kartu E-money, Flazz, Brizzi dan sejenisnya.

Saya gercep langsung order Taksi Online sesuai di titik jemputnya. Solo yang habis diguyur hujan ini romantis sekali. Tapi saya terkejut ketika mendengar cerita driver kalau di Solo sekarang banyak coffee shop yang buka hingga pukul 02.00 dini hari. Waw. Ada juga yaa orang mau ngafe di jam-jam itu.

“Di dekat hotel Mba nanti juga ada beberapa coffee shop yang buka sampai pagi Mba. Coba aja hehe.” ucap Bapak driver.

Kak Miza melirik saya memberi tanda, “Mari kita coba.”

Sesampainya di hotel, check in dan menata barang, saya bilang ke Kak Miza ingin makan Nasi Kucing di Angkringan. Dia terkejut, apa itu Nasi Kucing? Tanpa berlama-lama kami kembali keluar jalan kaki menyusuri jalanan sekitar hotel yang ternyata merupakan salah satu pusat kuliner malam di Solo.

“Jom Dini kita coba coffee hujung jalan itu.” ajak Kak Miza.

Setelah memesan kopi, saya bertanya pada barista ternyata benar mereka buka hingga pukul 2 pagi tapi last order di jam 1 pagi. Ke-kepo-an saya pun muncul, “Ada ya Kak yang jajan kopi malam-malam begini?” 

“Ada Mba, biasanya mereka yang mengerjakan tugas kuliah.”

Oke, beli kopi sudah dan saatnya makan Nasi Kucing di Angkringan. Lalu Kak Miza berhenti ketika melihat gerobak Takoyaki. Ketika proses jual beli Takoyaki ini, terjadi perbincangan.

“Sepertinya Kakak ini bukan orang Indonesia?” tanya Mas penjual Takoyaki.

“Iyaa, ada Kak Ros di sini Mas.” celetuk saya dan kami pun tertawa.

Hmm ada hal yang menggelitik di hati. Mas penjual Takoyaki serem wajahnya, seperti senyumnya pun mahal. Apalagi waktu kita beli, dia lagi makan. Ada rasa segan mengganggu. Tapi setelah ngobrol, ealah ramah banget.

So, pelajaran malam ini adalah "Don't judge a book by it’s cover".

Waktunya angkringan. Sepasang suami istri berusia sekitar 50-tahunan sudah tersenyum menyapa dari kejauhan ketika kami hendak menyeberang. 

“Monggo, pinarak.” sapa Bapaknya ramah.

Saya mengambil 1 bungkus Nasi Kucing berlauk sambal teri. Saya tunjukkan ke Kak Miza ini dia yang dinamakan Nasi Kucing. Lalu saya mengambil lauk-lauk pendamping seperti Tahu Bakso favorit saya (kalau ke Solo jangan skip tahu baksonya oke), Sate Telur Puyuh dan pastinya Sosis Solo yang kukus dan goreng. Semuanya nikmat, Masya Allah.

Oh tentunya minumnya Es Teh khas Angkringan Solo yang juara tiada lawan. Malam-malam habis hujan pun tetap minum es kan hehe.

Duduk di bangku kayu sambil makan makanan favorit serta ngobrol gayeng (akrab) dengan Bapak dan Ibu penjual angkringan serta beberapa pengunjung angkringan lainnya, saya merasa seperti sedang diingatkan pada makna sederhana dari bahagia. Momen istimewa.

Canda tawa malam itu tanpa terasa mengantarkan pada pukul 23.10 WIB. Oke mari saatnya kembali ke hotel untuk istirahat.

Solo seolah memeluk dalam diam, kemudian berkata, “Letakkan lelahmu, istirahatlah sebentar di sini.”

Langkah Kecil Menuju Kampung Batik Kauman dan Rasa Tenang di Masjid Gede

Pagi harinya, kami berjalan kaki menuju Kampung Batik Kauman. Gang-gang kecil dengan tembok bercat kusam menyambut kami. Udara masih lembab, aroma pagi bercampur dengan wangi kain batik yang banyak ditemukan hampir setiap rumah di sini. Ada sesuatu yang menenangkan dari suasana itu. Perlahan tapi pasti, Solo membuatku merasa damai.



Di setiap sudutnya, seolah tersimpan cerita tentang ketekunan dan kesederhanaan. Tentang bagaimana masyarakatnya masih menjaga warisan budaya tanpa kehilangan kehangatan dalam menyapa orang asing seperti kami.

Sebenarnya banyak tempat yang ingin kami kunjungi, namun melihat situasi dan kondisi akhirnya kami sepakat untuk berjalan di dalam kota Solo saja. Setelah dari Kampung Batik Kauman dimana kami sempat singgah sejenak minum kopi, perjalanan dilanjutkan menuju Pasar Triwindu dan Pasar Gedhe. Saya tidak pernah skip Pasar Gedhe, wajib ini. 

Di Pasar Triwindhu, kami menikmati keriuhan pasar tapi tetap merasa tenang dengan berjibunnya barang-barang antik yang masih terawat baik. Bagi teman-teman yang suka dengan barang-barang kuno, coba datang ke Pasar Triwindhu, dijamin bingung milihnya hehe.

Di Pasar Gedhe, kami menikmati semangkuk Es Dawet Gempol dan sebungkus jajanan pasar (lupis dan kawan-kawan). Murah meriah tapi happy.

Puas memanjakan lidah dan menikmati suasana pasar yang lagi-lagi jarang saya lakukan di Jakarta, kami bergegas kembali ke hotel. Tapi karena kami sudah jalan kaki begitu jauh serta matahari Solo sedang terik-teriknya maka saya ajak Kak Miza naik becak.

Sebelum kembali ke hotel untuk mengambil tas kami, saya ajak Kak Miza ke Masjid Gede Solo. Setelah beribadah, curhat sama Allah, kami duduk-duduk di bawah rindangnya pepohonan membiarkan angin membawa pikiran-pikiran yang tadinya terasa berat. Di sini kami merasakan ketenangan yang sulit dijelaskan. Seolah semua kebingungan yang sempat hinggap, perlahan menemukan jawabannya. Alhamdulillah.

Kami harus bergegas kembali ke hotel untuk melanjutkan perjalanan ke Semarang, kampung halaman saya.



Perjalanan yang Mengajarkan Arah

Di tengah perjalanan hidup yang kadang terasa penuh persimpangan, saya belajar bahwa perjalanan fisik selalu membawa pesan batin. Solo menjadi pengingat untuk berani menentukan arah, bahkan ketika peta di tangan masih samar.

Karena sesungguhnya, apa yang kita cari dalam hidup kalau bukan ketenangan. Ketenangan untuk menerima, untuk percaya, dan untuk melangkah lagi tanpa takut salah jalan.

Perjalanan kali ini bukan sekadar tentang kota yang dikunjungi, tapi tentang bagaimana saya belajar mengatur langkah dengan bijak. Tentang berlatih mengambil keputusan tanpa terburu-buru. Tentang memahami bahwa dalam hidup, tidak semua hal bisa kita kendalikan tapi kita selalu bisa memilih bagaimana cara kita menyikapinya.

Dan ketika aku merasa semua terasa berat, aku kembali diingatkan bahwa Allah SWT selalu nyata dalam setiap langkah. Tidak ada yang kebetulan, tidak ada yang tanpa alasan. Semua sudah ditulis, lengkap dengan cerita dan tugasnya masing-masing.

“Berserah bukan menyerah”

Perjalanan ke Solo kali ini memang singkat, tapi meninggalkan kesan yang dalam. Solo tidak memintaku untuk tinggal lama, cukup datang sebentar saja dan mengingatkan kembali apa yang penting. Bahwa hidup ini bukan tentang seberapa jauh kita pergi, tapi seberapa tenang hati kita saat melangkah.

Saya percaya, setiap perjalanan punya tugasnya sendiri. Dan Solo, seperti biasa, menunaikan tugasnya dengan sempurna, menjadi tempat pulang, sekaligus pengingat bahwa hidup akan selalu indah selama kita mau percaya pada-Nya.

Hmm saya jadi berpikir untuk benar-benar punya rumah di Solo hehe. Bismillah..

Terima kasih telah berkenan membaca cerita ini. Kira-kira kapan ke Solo bareng nih? 

Tidak ada komentar