2 Hari 2 Malan di Chiang Mai, Ngapain Aja? (2)

Sebelumnya..

Day 2 - Dari Pasar ke Pasar Hingga Nyasar ke Chiang Mai University 

Mengawali pagi dengan bersantai sejenak di hotel sembari mengisi daya semua gawai, kami beranjak mulai perjalanan sekitar pukul 9 pagi dengan tujuan sarapan (lagi) di pasar. Di dekat Hotel M ini ada beberapa pilihan restoran halal tapi baru pada buka pukul 11 siang. Sehingga kami berjalan menyusuri jalan lain dan menemukan satu tempat di depan ruko restoran halal yang masih tutup, seorang ibu muda menyapa menawarkan dagangannya. Dia menjual menu sarapan halal. Tanpa pikir panjang kami singgah.

Mba Nila mencoba bubur lengkap dengan telur setengah matang, sedangkan saya Breakfast Set : telur ceplok, sosis, dan roti sweet butter. Masing-masing makanan kami sudah termasuk minum, Teh Tawar Hangat. Kemudian saya memesan lagi Milk Tea yang ternyata rasanya persis Teh Tarik yang saya minum ketika di Malaysia (oh I love it).

Selama makan di sini, saya memperhatikan dia. Berjualan ditemani suami, anaknya yang kemungkinan masih berusia di bawah 1 tahun, dan satu orang lagi yang membantunya memasak dan menyiapkan makanan. Sepanjang kami duduk di situ, hanya ada 3 pembeli yang datang (termasuk kami). Nurani saya tergelitik. "Semua orang punya ceritanya sendiri untuk bertahan hidup.".

Kami segera membayar setelah melahap habis seluruh makanan. Sambil dia menghitung, saya ajak dia ngobrol ringan seperti menanyakan dia jualan hingga pukul berapa dan akhirnya dia memperkenalkan diri. "Jasmine." katanya sembari mengulurkan tangan bersalaman dengan kami. Dia asli Chiang Mai dan tinggal tidak jauh dari kedai. Satu hal yang akan saya ingat seumur hidup adalah dia menjabat tangan saya dua kali diiringi ucapan salam dan terima kasih. Terlihat ketulusannya ketika mengucapkan terima kasih.

Seakan mendapat booster energy, bahagia memang sederhana. Bertemu dengan saudara sesama muslim dan berbagi senyum, sapa, salam sudah menghangatkan hati saya. Langkah saya semakin ringan menyusuri trotoar kota yang cocok untuk slow living ini.

OMG, hari kedua di Chiang Mai, kami keluar masuk pasar. Mba Nila semangat membeli aneka teh dan buah. Kemudian kami membeli beberapa souvenir. Agak menyesal kenapa tidak menambahkan bagasi di tiket pulang ke Bangkok. Fun fact, harganya jauh lebih murah dan lebih beragam. Itu tandanya apa? Segera pesan tiket untuk kembali ke Chiang Mai *aamiin.



"Mba, kita ke hotel dulu aja ya buat naruh ini semua (sambil mengangkat tas-tas belanjaan). Deket kok dari sini, jadi kita jalan kaki lagi aja ya." kata saya ke Mba Nila sambil menunjukkan maps yang menunjukkan jarak 1,5 KM hehe. 

Dengan jalan kaki, tak jarang kita menemukan tempat-tempat menarik atau sesuatu menarik. Seperti kedai kopi yang mungil tapi dia punya mesin roasted coffee beans sendiri. Di sebelahnya juga ada kedai kopi tapi lebih menarik kedai kopi ini. Sesaat memantau aktivitasnya, saya yakin untuk membeli kopi di sini.

Mereka menawarkan 3 pilihan roasting. Light, medium, dan dark. Kami memilih medium. Dan taraaa, nikmat. Pas bagi kami para pecinta Latte. Kami membeli kopi bubuknya sebagai buah tangan. Mereka juga menyediakan menu lain seperti teh dan cokelat. 

Kami melanjutkan langkah dengan riang karena Latte sudah di tangan. Melewati ruko-ruko yang sibuk dengan lalu lintas ramai karena berada di pasar, kami menemukan sebuah taman di tengah perempatan jalan. Terlihat 4 orang Bapak-bapak sedang istirahat sambil makan bekal, tebakan saya mereka adalah pekerja yang sedang memperbaiki jalan. Terlihat pakaian seragam yang dilengkapi dengan peralatan keamanan kerja dan ada galian dekat dengan taman itu. 

Tidak mau kalah. Kami segera mengambil posisi untuk menikmati Hot Latte. Turis mana yang melakukan ini? Matahari semakin tinggi, kami membeli Hot Latte dan duduk di taman di tengah jalan. Ya begitulah kami menciptakan memori perjalanan yang lain dari pada biasanya.

Berjalan kembali ke hotel menemukan temple yang menarik. Hanya berjarak 3 bangunan dari hotel. Tapi sayangnya kami tidak sempat mengunjunginya. Istirahat sebentar, kami segera memesan Grab Car menuju Coconut Village.

Perkebunan kelapa yang dijadikan tempat wisata ini sungguh menarik. Banyak orang datang untuk membuat konten, selain menikmati ketenangannya. Dilengkapi dengan beragam barang dijual di sana selain makanan dan kelapa, membuat kami menambah cendera mata untuk dibawa ke Jakarta.

Cuaca galau tiba-tiba hujan tidak menyurutkan niat kami untuk menikmati kelapa muda di bawah gubug-gubug yang tersedia. Kurang afdol kalau tidak minum kelapa kan hehe. Coconut Village ini tutup pukul 3 sore dan kami datang sudah pukul 2. Jadinya tidak begitu lama kami menghabiskan waktu di sana. Bersamaan dengan para pedagang mengemas barangnya, kami melanjutkan perjalanan menuju Wat Chedi Luang.

Sempat salah jalan masuk ke Wat Chedi Luang, tapi malah menemukan jawaban dari mimpi saya di pesawat waktu perjalanan menuju Chiang Mai. Sepertinya memang harus salah jalan dulu supaya saya menemukan jawabannya. Sungguh ajaib.



Wat Chedi tiket masuk seharga THB 50. Lumayan besar areanya. Saat berada di sana, sedang dilaksanakan sembahyang. Kami menyusuri pelan-pelan dan duduk berhadapan dengan bangunan Candi. 

Wat Chedi dibangun zaman Kerajaan Lanna oleh Raja Saen Muang Ma pada abad 14 untuk menampung abu ayahnya. namun tidak pernah selesai sampai beliau meninggal. Pembangunan dilanjutkan oleh istrinya hingga pertengahan abad 15, namun juga tidak pernah benar-benar selesai. Gempa bumi juga menjadi faktor bangunan candi menjadi tidak utuh. Tahun 1551 Buddha Zamrud dipindahkan ke Luang Prabang setelah gempa bumi terjadi. Wat Chedi menjadi kuli para raja Kerajaan Lanna. Hingga kini menjadi tempat ibadah, serta menarik untuk wisata religi dan sejarah. 

Matahari mulai bergeser menuju malam. Kami kembali ke hotel dengan berjalan kaki karena ternyata lokasinya tidak jauh dari Hotel M. Kami belum makan siang. Setelah mencari restoran halal terdekat, kami segera ke sana. Menariknya, ternyata yang punya restoran, seorang Muslimah yang menikah dengan orang Malaysia sehingga dia bisa bahasa melayu dan makanan yang dijual sebagian masakan melayu. 

Di tengah kami menyantap makan siang yang dirapel malam ini, hujan lebat terjadi. Waktu menunjukkan pukul 6 petang. Mba Nila mengajak saya untuk ke sebuah daerah yang menjual barang-barang thrift vintage. Lokasinya berada di tengah perumahan, terdapat deretan ruko modern di sana dan tokonya ada di antara ruko lain yang sudah tutup. Kawasannya sudah gelap, hanya ada toko itu dan 1 toko lagi yang masih buka. Setelah mencari apa yang dicari tidak ada, saya mengajak Mba Nila untuk tidak langsung order Grab Car tapi berjalan dulu keluar dari kawasan. Setelah keluar dari kawasan, banyak penjual makanan dan cafe-cafe kekinian sehingga menambah rasa aman kami jalan kaki. 

"Dimana ini Mba?" tanya Mba Nila.

Tidak lama saya membaca tulisan pada sebuah gedung besar "Chiang Mai University". Entah apa yang terjadi, Mba Nila auto kegirangan bisa nyasar di sini. Artinya, kami menambah pengalaman melokal dengan berada di kawasan kampus. Bayangkan aktivitas anak kos-kosan yang kuliah di Chiang Mai University. Sangat ramai. Kemudian kami menemukan toko kosmetik besar bernama "Direct". Kami menghabiskan waktu tenggelam di antara deretan rak-rak skin care, kosmetik, perlengkapan rumah tangga hingga aneka snack khas Thailand. Menyenangkan.

Sudah pukul 9 malam kami bergegas kembali ke hotel karena besok harus terbang ke Bangkok menggunakan pesawat pukul 8 pagi. 

2 hari 2 malam di Chiang Mai memberi kesan berbeda. Tiap perjalanan memang selalu ada cerita berbeda. Chiang Mai menjadi tempat kami rehat sejenak, menambah insight baru tentang kehidupan di Negara tetangga, dan memberi semangat baru dalam melanjutkan perjalanan hidup. Saya ingin kembali ke Chiang Mai nanti sekalian ke Chiang Rai. Slow travel, mencoba meditasi dan menulis di sana sepertinya menarik ya. Bismillah dimudahkan. Bagi teman-teman yang ingin bergabung, silakan DM saya di Instagram @andini_harsono ya. Semangat semua :) 



Tidak ada komentar